Saya membeli buku ini saat di Jogjakarta, perjalanan menuju
Jakarta di bulan Mei lalu.
Melihat bukunya terdapat 700 halaman agak sedikit
mager untuk membacanya hehe. Tiga hari lalu, saya baru saja menamatkan Aroma
Karsa ketika tiba-tiba menerima surel dari seorang penulis yang saya kenal
cukup dekat.
Dia mengucapkan selamat ulang tahun dan mohon maaf lahir batin. Di
tengah euphoria pasca Aroma Karsa, saya jawab sama-sama lalu tanpa pikir
panjang saya sambung Aroma Karsa dahsyat sekali.
Lalu dia membalas bertubi-tubi dengan surel surel pendek sepanjang
satu-satu baris.
“Sudah baca perfume? Pemenang hadiah sastra New York? Atau mungkin
malah tidak tahu karya itu ada?”
Apresiasi seseorang tergantung pengetahuannya memang, sungguh
menyedihkan. Tentu saja saya kaget karena balasan bertubi-tubi ini mengandung
implikasi ganda.
Pertama, Aroma Karsa meniru Perfume. Kedua, selera bacaan saya
kurang bermutu karena pengetahuan saya kurang.
Sebenarnya saya malas sih menanggapi karena tahu penulis ini orang
yang tidak terlalu suka membaca karya sastra. Jadi walaupun katanya dia punya
buku itu dalam versi asli dan terjemahannya, sudah nonton filmnya (btw, saya
juga udah baca dan nonton dan awalnya juga bertanya mengapa Dee memilih menulis
buku yang pasti mengundang pembandingan orang tapi saya memutuskan untuk enjoy
saja tanpa prasangka dan ternyata keputusan saya berbuah manis), bahkan sudah
pernah diskusi dengan penulis bukunya, saya nggak yakin dia pernah benar-benar
baca kedua buku itu sampai tuntas, dan karenanya, hanya membuat kesimpulan
berdasarkan informasi sepotong-sepotong.
Karena itu dia berlindung di balik alasan, hal-hal ini hanya
dimengerti oleh mereka yang menulis buku. Saya rasa, meskipun hal itu benar,
seorang penulis tidak menulis agar dimengerti penulis lain, tapi agar karyanya
bisa dinikmati seluas mungkin. Penggambaran tentang Jati yang mau tidak mau
mengingatkan pada Perfume harus dilakukan karena ini tokoh sentral dari Aroma
Karsa. Tetapi begitu inti cerita bergulir saya sudah lupa sama sekali dengan
Perfume karena ini cerita yang sama sekali baru, yang membuat saya merindukan
sensasi siang-siang panas memghibur diri menantikan sandiwara radio Sahur
Sepuh.
Ingat pada karya – karya Ayu Utami, ya karena penulis perempuan
yang mengangkat legenda jawa kuno barangkali cuma segelintir. Tapi setelah
menuntaskan Aroma Karsa, saya memutuskan saya menyukainya, akan membacanya
berkali-kali lagi.
Bahwa Aroma Karsa
bukan Perfume, bukan pula Bilangan Fu atau Lalita. Aroma Karsa adalah Aroma
Karsa, dan saya bersyukur karya ini ada.